Mentari pas di ubun-ubun Halomoan ketika sampai di kaki bukit
Limbong-Sagala, Toba. Puluhan menit lagi dia sampai di puncak bukit
Pusuk Buhit. Setelah itu turun lagi menelusuri kaki bukit sebelahnya
menuju Desa kelahiran Kakeknya. Dia sudah lama tidak pulang. Pasti
mereka tidak kenal lagi dengan wajahnya. Waktu SMP lah terakhir kali dia
kunjungan. Sekarang tinggi badannya pun sudah bertambah, apalagi rona
wajah pasti beda.
Ditelusurinya terus kaki bukit Pusuk Buhit ini. Benar, apa yang
diduganya. Semua keluarga yang ditemui pada bingung melihatnya.
Berkali-kali dikatakannya dirinya si Halomoan, mereka tidak dapat
mengingat. Untunglah Bapa Uda yang baru datang dari sawah langsung
ingat.Setelah itu barulah semua sadar, termasuk Oppung (Kakek) yang
meski pun sudah uzur tetapi lama kelamaan ingat juga. Setelah puas
bercerita tentang keluarga di Medan, tentang apa sekarang pekerjaan
Halomoan, barulah cerita masuk ke topik yang sudah diutarakan
sebelumnya.
“Ompung sangat mendukung rencana pernikahanmu itu” Kata Kakek
Halomoan terbata-bata. Demikian Pak Uda dan semua menyambut gembira, dan
tak terasa percakapan pun sudah sampai kepada konsep adat yang hendak
dijalankan. Mereka semua dari kampung ini siap datang ke Medan.
Bersamaan itu juga tak terasa rumah semakin sempit, sebab bukan hanya
keluarga dekat yang berdatangan tetapi tetangga jauh maupun dekat datang
menyambut. Hingga ramai dan ketika konsep acara adat dibahas, juga
ramailah yang menanggapi.
Sebelumnya Halomoan sudah mengutarakan, konsep acara adat
pernikahannya jangan seperti biasa diakhiri dengan ulaon sadari. Tetapi
biarlah ruhut-ruhut paradation itu dijalankan sesuai porsi dan
urutannya, yakni jika sudah selesai acara adat na gok yang namanya
paulak une jangan dilakukan hari itu juga, sebagaimana sering dilakukan
dengan lebel ulaon sadari. Pada saat inilah timbul perdebatan panjang,
alot dan rada buntu.
“Tak begitu Pahompu…” kata Kakek kepada Halomoan. “Kita harus
pertimbangkan waktu . . Kalau tidak dilakukan usai pesta, itu berarti
butuh waktu lagi kapan kita menemui mertuamu itu.” Lanjut Kakek dengan
bahasa Indonesia patah dan terbata-bata.
“Tapi Oppung . . . aku ingin ritual itu djalankan bukan langsung
setelah pesta adat. Selama ini sudah salah besar. Hanya karena waktu
(mau buru-buru) lalu diringkas dengan lebel ulaon sadari, dilakukan hari
itu juga. Padahal makna paulak une itu bukan demikian, salah selama
ini. Semua sudah melanggar apa yang dititahkan nenek moyang kita dulu…”
jawab Halomoan.
“Betul itu Moan . . tetapi kau harus perhitungkanlah. Dari kampung
ini kami akan datang lagi dan pergi menemui keluarga mertuamu..
sedangkan di kampung ini kau taulah kami repot … Kebetulan padi sudah
mau panen….” Kata Pak Udanya memberi pengertian.
“Kalau takut kepada waktunya Pak Uda pernikahanku ini pun bisa tidak
jadi nanti… Habis dari mana bisa datang kalau sawah dan ladang tak bisa
ditinggalkan … “ Wajah Pak Uda Moan memerah, tampaknya dia menahan
marah.
“Kok sombong kali jawabanmu itu Moan, jangan gitulah . . taunya kami orang susah..” Jawab Inang Uda, isteri pak Udanya itu.
“Bukan gitu Inang Uda … tapi . . . “ Belum siap Moan bicara tapi
Inang Udanya sudah pergi sembari membuang handuk kecil yang sedari tadi
lengket di tangannya, pertanda begitulah dia bencinya melihat Moan.
Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di hati Moan.
Halomoan sebenarnya bukan mau sok pelaku adat tanpa dasar, tetapi jauh
di relung hatinya yang paling dalam ada kerinduan, ingin membuktikan
bahwa Rina, calon pemaisurinya benar masih perawan. Tidak seperti yang
digossipkan orang. Korelasinya? Sesuai yang dipelajarinya, acara adat
paulak une inilah media resmi tempatnya kelak mengajukan “gugatan” bila
yang digossipkan itu terbukti benar. Tetapi jika ritual paulak une itu
sudah dilakukan, padahal tidur sekamar belum berlangsung dan
kenyataannya terbukti pula isterinya sudah tidak perawan, media resmi
apalagi yang dipakai untuk mengajukan “protes” kepada orang tua si
wanita?
Paulak Une dalam budaya Batak Toba dimaksudkan
sebagai upacara mengunjungi mertua atau orang tua perempuan yang
menyatakan perkawinan itu sudah berjalan une, bagus. Jika memang benar
bagus adanya. Makna terdalam paulak une ini sesungguhnya tidak sekadar
menyatakan perkawinan itu telah une, bagus, tetapi yang utama adalah
pada malam pertama itu benar-benar si gadis itu perawan, dan disebutlah
une, bagus! Jika tidak bagus, maka esoknya boleh langsung lapor ke pihak
perempuan melalui Namboru si gadis bahwa pengantin wanita ternyata
telah ternoda dengan pria lain.
Karena itulah Halomoan ngotot adat paulak une harus dilakukan usai
tidur sekamar. Tetapi jika dilaksanakan usai pesta adat hari itu juga,
apa lagi yang mau diperbuat jika terbukti tidak perawan? Ini yang tidak
dimengerti para keluarga di kampung ini. Tetapi Moan pun sungkan untuk
menyatakan ini secara terbuka kepada Oppung, Pak Uda, Inang Uda,
Amangboru dan Namboru serta semua handai tolan yang datang ke rumah.
Sebab tabu sekali rasanya. Sedang selama ini sudah terbiasa salah,
sehingga lupa makna yang hakiki dari paulak une itu.
Lantas? Kini percakapan sudah buntu. Lobby tak bisa dilakukan, sebab
pihak ketiga tidak ada yang bisa ambil insiatif. Tetapi yang namanya
berjuang, menegakkan budaya leluhur yang bagus mengantisipasi
keboborokan zaman, Moan tidak putus asa. Tiba-tiba Amangboru mengajaknya
ke luar. Ya, mungkin maksudnya mau lobby. Benar, Amangboru mau bicara.
Kembali perdebatan kecil berlangsung. Entah kenapa Halomoan sulit
mengutarakan apa sesungguhnya yang ada di hatinya. Saat kembali terjadi
suasana beku antara mereka berdua, Amangboru menanya bagaimana sikap
Ayah dan Ibu Moan. Dijawabnya, justru karena buntulah di Medan, maka
datang ke bona pasogit ini, dengan harapan mendapat dukungan, karena
dari kampung inilah harapan Moan mendukung ritual paulak une tersebut.
Tiba-tiba sorot mata Amangboru terarah kepada Moan. Dia seperti
terkejut.
“Apa semua di balik ini?” tanyanya. “Tanpa kujawab, Amangboru yang di
bona pasogit ini lebih tahu..”jawab Moan. Tak sadar Amangboru
mengernyitkan keningnya. Dia pening tak tahu berbuat tetapi mulai merasa
ada sesuatu makna dari apa yang diinginkan Halomoan.
“Baiklah…” katanya menunjukkan sikap patuh sebagai boru. Dia pun
pergi. Tak tahu ke mana. Tetapi, tiga jam kemudian dia datang dan
langsung memeluk Moan. Tampaknya dia sudah dapat jawaban.
“Baiklah Tulang . ..” katanya pada Halomoan. Dia memanggil Tulang,
bukan karena putrinya diambil Halomoan tetapi karena memang begitulah
adat. Pria yang mengambil isteri adik atau kakak perempuan ayah Moan, si
suami kakak atau adik ayah itu, memangil Tulang pada anaknya, ya sesuai
adat, panggilan Tulang itu sifatnya mangulahi (mengulangi).
“Kalau memang itu maksud Tulang, amangboru akan dukung dan bicarakan balik kepada Oppung dan Pak Udamu.” Mereka masuk ke rumah.
“Sebagai boru kami sependapat dan mendukung, usul Tulang naposo agar
usai pesta adat jangan terus dilakukan adat paulak une. Ini penting guna
melestarikan budaya leluhur yang sudah mulai punah di kota Medan, dan
ini tadi sudah saya diskusikan dengan teman sekampung, sebelum saya
sampai di sini. Semua setuju. Sebab sudah jarang anak muda yang minta
budaya leluhurnya dilestarikan, apalagi pendatang dari kota pula. Ini
bagus dan patut kita dukung” demikian simpul Amangboru membuat seisi
rumah dalam percakapan final menjadi terdiam. Habis, meski amangboru
pihak yang tidak seharusnya menjadi penentu, tetapi karena di acara adat
pandangan dan gagasan Amangboru ini masih didengar dan diakui, membuat
yang lain terdiam, termasuk Inang Uda yang tadi sempat emosi.
“Tapi begitu pun saya tetap mengembalikan kepada Amang Simatua dan
Laeku di sini, apakah rencana Tulang naposo ini kita dukung atau tidak..
ucapanku ini mohon direspon.”kata Amangboru. Oppung dengan Pak Uda
serta dongan tubu lainnya saling berpandangan. Setelah mereka berunding,
Oppung mempersilahkan Pak Uda berbicara.
“Sebenarnya yang dibilang anakku si Moan, adat budaya yang baik itu
harus dilestarikan sebab kalau tidak kita siapa lagi yang melestarikan,
apalagi memang makna yang terkandung di dalam adat paulak une, adalah
sangat baik dan bagus. Tidak serendah yang diduga banyak orang. Jika
memang tujuan anak kami Moan untuk melestarikan budaya itu, kami yang di
bonapasogit inilah sepatutnya mendukung seratus persen.”
Sampai di sini Halomoan tak dapat lagi menahan senyum. Senang dan
kagum pada Pak Uda yang jauh lebih terbuka dibanding ayah yang sudah
lama tinggal di kota, tetapi mau enak dan ringkas saja. Kalau boleh Moan
mau berteriak keras: “Hoorrreeeeee Goallllllll”
Penjelasan:
Ulaon sadari= Acara adat yang dilakukan dalam sehari. Maksudnya
semua kewajiban adat yang berkaitan dengan pengesahan perkawinan
diselesaikan dalam satu hari itu saja.
Ruhut-ruhut padation= hukum-hukum/aturan dalam tatanan adat
Paulak Une = Une = bagus, sesuai. Makna terdalam (hakiki)
paulak une, keluarga pihak pria mengunjungi keluarga pihak perempuan
menyatakan bahwa perkawinan tidak ada masalah. Malam pertama berjalan
dengan baik. Kata une, sebenarnya bahasa sandi untuk menyebutkan bahwa
suami isteri telah bersetubuh.
Namboru = Bibi
Adat na gok= adat penuh, semua kewajiban adat dilaksanakan.
Bona pasogit= kampung halaman, tanah kelahiran leluhur, asal muasal.
Boru- pihak pengambil isteri
Tulang= Paman
Naposo= yang (masih) muda
Amang Simatua = Bapak Mertua
Dongan tubu = Teman semarga