Minggu, 10 Juni 2012

Cerita Dibalik Upacara Adat Paulak Une

Mentari pas di ubun-ubun Halomoan ketika sampai di kaki bukit Limbong-Sagala, Toba. Puluhan menit lagi dia sampai di puncak bukit Pusuk Buhit. Setelah itu turun lagi menelusuri kaki bukit sebelahnya menuju Desa kelahiran Kakeknya. Dia sudah lama tidak pulang. Pasti mereka tidak kenal lagi dengan wajahnya. Waktu SMP lah terakhir kali dia kunjungan. Sekarang tinggi badannya pun sudah bertambah, apalagi rona wajah pasti beda.
Ditelusurinya terus kaki bukit Pusuk Buhit ini. Benar, apa yang diduganya. Semua keluarga yang ditemui pada bingung melihatnya. Berkali-kali dikatakannya dirinya si Halomoan, mereka tidak dapat mengingat. Untunglah Bapa Uda yang baru datang dari sawah langsung ingat.Setelah itu barulah semua sadar, termasuk Oppung (Kakek) yang meski pun sudah uzur tetapi lama kelamaan ingat juga. Setelah puas bercerita tentang keluarga di Medan, tentang apa sekarang pekerjaan Halomoan, barulah cerita masuk ke topik yang sudah diutarakan sebelumnya.
“Ompung sangat mendukung rencana pernikahanmu itu” Kata Kakek Halomoan terbata-bata. Demikian Pak Uda dan semua menyambut gembira, dan tak terasa percakapan pun sudah sampai kepada konsep adat yang hendak dijalankan. Mereka semua dari kampung ini siap datang ke Medan. Bersamaan itu juga tak terasa rumah semakin sempit, sebab bukan hanya keluarga dekat yang berdatangan tetapi tetangga jauh maupun dekat datang menyambut. Hingga ramai dan ketika konsep acara adat dibahas, juga ramailah yang menanggapi.




Sebelumnya Halomoan sudah mengutarakan, konsep acara adat pernikahannya jangan seperti biasa diakhiri dengan ulaon sadari. Tetapi biarlah ruhut-ruhut paradation itu dijalankan sesuai porsi dan urutannya, yakni jika sudah selesai acara adat na gok yang namanya paulak une jangan dilakukan hari itu juga, sebagaimana sering dilakukan dengan lebel ulaon sadari. Pada saat inilah timbul perdebatan panjang, alot dan rada buntu.
“Tak begitu Pahompu…” kata Kakek kepada Halomoan. “Kita harus pertimbangkan waktu . . Kalau tidak dilakukan usai pesta, itu berarti butuh waktu lagi kapan kita menemui mertuamu itu.” Lanjut Kakek dengan bahasa Indonesia patah dan terbata-bata.
“Tapi Oppung . . . aku ingin ritual itu djalankan bukan langsung setelah pesta adat. Selama ini sudah salah besar. Hanya karena waktu (mau buru-buru) lalu diringkas dengan lebel ulaon sadari, dilakukan hari itu juga. Padahal makna paulak une itu bukan demikian, salah selama ini. Semua sudah melanggar apa yang dititahkan nenek moyang kita dulu…” jawab Halomoan.
“Betul itu Moan . . tetapi kau harus perhitungkanlah. Dari kampung ini kami akan datang lagi dan pergi menemui keluarga mertuamu.. sedangkan di kampung ini kau taulah kami repot … Kebetulan padi sudah mau panen….” Kata Pak Udanya memberi pengertian.
“Kalau takut kepada waktunya Pak Uda pernikahanku ini pun bisa tidak jadi nanti… Habis dari mana bisa datang kalau sawah dan ladang tak bisa ditinggalkan … “ Wajah Pak Uda Moan memerah, tampaknya dia menahan marah.
“Kok sombong kali jawabanmu itu Moan, jangan gitulah . . taunya kami orang susah..” Jawab Inang Uda, isteri pak Udanya itu.
“Bukan gitu Inang Uda … tapi . . . “ Belum siap Moan bicara tapi Inang Udanya sudah pergi sembari membuang handuk kecil yang sedari tadi lengket di tangannya, pertanda begitulah dia bencinya melihat Moan. Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di hati Moan. Halomoan sebenarnya bukan mau sok pelaku adat tanpa dasar, tetapi jauh di relung hatinya yang paling dalam ada kerinduan, ingin membuktikan bahwa Rina, calon pemaisurinya benar masih perawan. Tidak seperti yang digossipkan orang. Korelasinya? Sesuai yang dipelajarinya, acara adat paulak une inilah media resmi tempatnya kelak mengajukan “gugatan” bila yang digossipkan itu terbukti benar. Tetapi jika ritual paulak une itu sudah dilakukan, padahal tidur sekamar belum berlangsung dan kenyataannya terbukti pula isterinya sudah tidak perawan, media resmi apalagi yang dipakai untuk mengajukan “protes” kepada orang tua si wanita?
Paulak Une dalam budaya Batak Toba dimaksudkan sebagai upacara mengunjungi mertua atau orang tua perempuan yang menyatakan perkawinan itu sudah berjalan une, bagus. Jika memang benar bagus adanya. Makna terdalam paulak une ini sesungguhnya tidak sekadar menyatakan perkawinan itu telah une, bagus, tetapi yang utama adalah pada malam pertama itu benar-benar si gadis itu perawan, dan disebutlah une, bagus! Jika tidak bagus, maka esoknya boleh langsung lapor ke pihak perempuan melalui Namboru si gadis bahwa pengantin wanita ternyata telah ternoda dengan pria lain.
Karena itulah Halomoan ngotot adat paulak une harus dilakukan usai tidur sekamar. Tetapi jika dilaksanakan usai pesta adat hari itu juga, apa lagi yang mau diperbuat jika terbukti tidak perawan? Ini yang tidak dimengerti para keluarga di kampung ini. Tetapi Moan pun sungkan untuk menyatakan ini secara terbuka kepada Oppung, Pak Uda, Inang Uda, Amangboru dan Namboru serta semua handai tolan yang datang ke rumah. Sebab tabu sekali rasanya. Sedang selama ini sudah terbiasa salah, sehingga lupa makna yang hakiki dari paulak une itu.
Lantas? Kini percakapan sudah buntu. Lobby tak bisa dilakukan, sebab pihak ketiga tidak ada yang bisa ambil insiatif. Tetapi yang namanya berjuang, menegakkan budaya leluhur yang bagus mengantisipasi keboborokan zaman, Moan tidak putus asa. Tiba-tiba Amangboru mengajaknya ke luar. Ya, mungkin maksudnya mau lobby. Benar, Amangboru mau bicara. Kembali perdebatan kecil berlangsung. Entah kenapa Halomoan sulit mengutarakan apa sesungguhnya yang ada di hatinya. Saat kembali terjadi suasana beku antara mereka berdua, Amangboru menanya bagaimana sikap Ayah dan Ibu Moan. Dijawabnya, justru karena buntulah di Medan, maka datang ke bona pasogit ini, dengan harapan mendapat dukungan, karena dari kampung inilah harapan Moan mendukung ritual paulak une tersebut. Tiba-tiba sorot mata Amangboru terarah kepada Moan. Dia seperti terkejut.
“Apa semua di balik ini?” tanyanya. “Tanpa kujawab, Amangboru yang di bona pasogit ini lebih tahu..”jawab Moan. Tak sadar Amangboru mengernyitkan keningnya. Dia pening tak tahu berbuat tetapi mulai merasa ada sesuatu makna dari apa yang diinginkan Halomoan.
“Baiklah…” katanya menunjukkan sikap patuh sebagai boru. Dia pun pergi. Tak tahu ke mana. Tetapi, tiga jam kemudian dia datang dan langsung memeluk Moan. Tampaknya dia sudah dapat jawaban.
“Baiklah Tulang . ..” katanya pada Halomoan. Dia memanggil Tulang, bukan karena putrinya diambil Halomoan tetapi karena memang begitulah adat. Pria yang mengambil isteri adik atau kakak perempuan ayah Moan, si suami kakak atau adik ayah itu, memangil Tulang pada anaknya, ya sesuai adat, panggilan Tulang itu sifatnya mangulahi (mengulangi).
“Kalau memang itu maksud Tulang, amangboru akan dukung dan bicarakan balik kepada Oppung dan Pak Udamu.” Mereka masuk ke rumah.
“Sebagai boru kami sependapat dan mendukung, usul Tulang naposo agar usai pesta adat jangan terus dilakukan adat paulak une. Ini penting guna melestarikan budaya leluhur yang sudah mulai punah di kota Medan, dan ini tadi sudah saya diskusikan dengan teman sekampung, sebelum saya sampai di sini. Semua setuju. Sebab sudah jarang anak muda yang minta budaya leluhurnya dilestarikan, apalagi pendatang dari kota pula. Ini bagus dan patut kita dukung” demikian simpul Amangboru membuat seisi rumah dalam percakapan final menjadi terdiam. Habis, meski amangboru pihak yang tidak seharusnya menjadi penentu, tetapi karena di acara adat pandangan dan gagasan Amangboru ini masih didengar dan diakui, membuat yang lain terdiam, termasuk Inang Uda yang tadi sempat emosi.
“Tapi begitu pun saya tetap mengembalikan kepada Amang Simatua dan Laeku di sini, apakah rencana Tulang naposo ini kita dukung atau tidak.. ucapanku ini mohon direspon.”kata Amangboru. Oppung dengan Pak Uda serta dongan tubu lainnya saling berpandangan. Setelah mereka berunding, Oppung mempersilahkan Pak Uda berbicara.
“Sebenarnya yang dibilang anakku si Moan, adat budaya yang baik itu harus dilestarikan sebab kalau tidak kita siapa lagi yang melestarikan, apalagi memang makna yang terkandung di dalam adat paulak une, adalah sangat baik dan bagus. Tidak serendah yang diduga banyak orang. Jika memang tujuan anak kami Moan untuk melestarikan budaya itu, kami yang di bonapasogit inilah sepatutnya mendukung seratus persen.”
Sampai di sini Halomoan tak dapat lagi menahan senyum. Senang dan kagum pada Pak Uda yang jauh lebih terbuka dibanding ayah yang sudah lama tinggal di kota, tetapi mau enak dan ringkas saja. Kalau boleh Moan mau berteriak keras: “Hoorrreeeeee Goallllllll”
Penjelasan:
Ulaon sadari= Acara adat yang dilakukan dalam sehari. Maksudnya semua kewajiban adat yang berkaitan dengan pengesahan perkawinan diselesaikan dalam satu hari itu saja.
Ruhut-ruhut padation= hukum-hukum/aturan dalam tatanan adat
Paulak Une = Une = bagus, sesuai. Makna terdalam (hakiki) paulak une, keluarga pihak pria mengunjungi keluarga pihak perempuan menyatakan bahwa perkawinan tidak ada masalah. Malam pertama berjalan dengan baik. Kata une, sebenarnya bahasa sandi untuk menyebutkan bahwa suami isteri telah bersetubuh.
Namboru = Bibi
Adat na gok= adat penuh, semua kewajiban adat dilaksanakan.
Bona pasogit= kampung halaman, tanah kelahiran leluhur, asal muasal.
Boru- pihak pengambil isteri
Tulang= Paman
Naposo= yang (masih) muda
Amang Simatua = Bapak Mertua
Dongan tubu = Teman semarga

Selasa, 05 Juni 2012

SEJARAH PURAJA LAGUBOTI

SIPAETTUA berpisah dengan saudara sulungnya SIBAGOTNIPOHAN di Lumban Gorat (Balige), mencari tempat tinggal baru kea rah timur.
SIPAETTUA memiliki tiga orang putra yaitu :
1. PANGULU PONGGOK memiliki keturunan :
(Radja Hutahayan,Radja Aruan,Radja Hutajulu)
2. SIPARTANO memiliki keturunan : (Sibarani,Sibuea,Sarumpaet)
3. PURAJALAGUBOTI (Pardundang/Paronan Nagodang) memiliki keturunan (Pangaribuan, Hutapea)

ASAL USUL ISTILAH : “SEAK-SEAK PANGGARUNGAN, HUTAPEA PANGARIBUAN”.

PARDUNDANG adalah gelar PURAJA LAGUBOTI .Ia seorang pekerja keras , ulet dan telaten.
Ia menikah dengan Putri Radja Pasaribu, bekerja sebagai saudagar antar daerah. Setiap ada keramaian di daerah Toba, Ia sudah memiliki lapak disana, sehingga orang-orang menyebutnya PARONAN NA GODANG. Berkat kerja kerasnya, Ia menjadi orang paling kaya di Toba. Semua tanah di kecamatan Laguboti dibeli menjadi miliknya. sehingga orang menyebutnya (PURAJA LAGUBOTI )
Adapun boru Pasaribu,istri PURAJA LAGUBOTI sudah tua dan belum punya anak. Berkatalah boru Pasaribu kepada PURAJA LAGUBOTI.
Boru Pasaribu : “Engkau tahu, kita sudah lama menikah, namun Tuhan belum memberikan berkat kepada kita. Karena itu, baiklah engkau menikahi Putri Raja Sitorus , mungkin oleh dialah aku memperoleh anak.supaya ada ahli waris kita kelak.”
Puraja Laguboti : “Aku setuju, kalau hal itu kau pandang baik.Tapi kau harus janji, jika kelak boru Sitorus melahirkan anak . kau harus anggap sebagai anak kandung mu sendiri.” Dan jika kelak engkau melahirkan anak, maka anak yang engkau lahirkan menjadi anak sulung”.
Boru Pasaribupun menyanggupinya.
Maka Puraja Laguboti menikahi Putri Radja Sitorus, mengandunglah boru Sitorus, lalu melahirkan anak dan di beri nama HUTAPEA.
Setelah Hutapea lahir, boru Pasaribu menepati janjinya, mengasuh dan memperlakukan Hutapea sebagai anak kandungnya sendiri.
Beberapa tahun kemudian, boru Pasaribu hamil, lalu melahirkan anak dan di beri nama PANGARIBUAN. Boru Sitorus merawat Pangaribuan dengan penuh kasih sayang seperti anak sendiri.
suatu hari, berkatalah Puraja Laguboti kepada ke dua istrinya demikian : Hai istri PURAJA LAGUBOTI, dengarkanlah perkataanku ini, meskipun Hutapea duluan lahir, tetapi Pangaribuan lah anak sulung. Karena Pangaribuan lahir dari istriku yang pertama”. Sehingga Hutapea panggil abang ke Pangaribuan”
Untuk mengikat perjanjian ini, lalu PURAJA LAGUBOTI mengucapkan umpasa sbb :
SEAK-SEAK PANGGARUNGAN, HUTAPEA PANGARIBUAN”

Seak-seak adalah tempurung/batok kelapa
Panggarungan adalah tempat minuman.
Catatan : Dahulu tempat minum terbuat dari tempurung/batok kelapa.